“Saya seorang pria kulit putih yang muda dan terdidik,” Evan Spiegel mengungkapkan hal tersebut dengan penuh percaya diri di sebuah konferensi bisnis di Stanford. “Saya sangat, sangat beruntung. Dan hidup memang tidak adil untuk kalian.”
Evan Spiegel mungkin bukan salah satu nama yang berkesan positif di dunia teknologi. Banyak yang tidak menyukai sikapnya yang urakan dan arogan, serta cara bisnisnya yang kadang tidak beretika. Namun benci atau cinta, per 2018 lalu Snapchat memiliki 300 juta pengguna aktif, jumlah yang signifikan untuk sebuah media sosial. Meskipun orangtua sangat membenci platform media sosial yang satu ini, karena ditengarai ‘terlalu bebas’, namun perlu diakui, Spiegel adalah orang yang sangat tahu apa yang diinginkan remaja. Lebih dari 90% pengguna Snapchat adalah remaja dan sebuah penelitian statistik mengungkap bahwa Snapchat masih mampu untuk mendominasi demografi ini, paling tidak hingga tahun 2022.
‘Beruntung’ lahir dari keluarga kelas atas
Spiegel menghabiskan masa kecilnya di Pacific Palisade, wilayah mewah Los Angeles di Timur Malibu. Dia adalah anak sulung dari dua orang pengacara kelas atas yang biasa menangani kasus-kasus perusahaan Fortune 500 di wilayah tersebut. Sayangnya, kedua orangtua Evan kemudian bercerai saat dia duduk di bangku SMA.
Berasal dari keluarga kelas atas, tentu saja Spiegel bersekolah di lembaga yang sangat eksklusif. Crossroad School di Santa Monica, merupakan ‘sekolah selebriti’ di wilayah tersebut yang biaya per semesternya mencapai puluhan ribu dolar. Banyak bintang kelas A Holywood merupakan alumni sekolah tersebut, misalnya Kate Hudson, Jonah Hill, Jack Black, dan Gwyneth Paltrow. Pendiri Tinder, Sean Rad, juga merupakan alumni dari sekolah super mahal ini.
Sifat Spiegel yang songong mungkin memang karena kedua orangtuanya memanjakannya setengah mati. Semasa SMA, dia mendapatkan peluang untuk magang di Red Bull. Spiegel kemudian meminta orangtuanya untuk memberikan ‘sarana transportasi’ berupa sebuah BMW 550i seharga USD 75.000 (sekitar satu miliar seratus juta rupiah). Surat yang ditulisnya kepada orangtuanya saja menunjukkan betapa dia tidak malu-malu untuk meminta hadiah tersebut. “..Mobil memberikan kesenangan bagi saya. Saya akan sangat menghargai jika ayah dan ibu mengakui kerja keras saya dengan membelikan BMW untuk kendaraan saya.”
Di luar sifat arogannya, Spiegel memang berbakat dan cerdas. Dia diterima di jurusan product design Stanford, salah satu universitas bergengsi di AS. Di sanalah dia berjumpa dengan mitra pendiri Snapchat lainnya, Reggie Brown dan Bobby Murhphy. Ketiganya kelak akan mengukir legenda dengan kesuksesan Snapchat.
Berawal dari Foto yang Bisa Terhapus Sendiri
Semua berawal dari Reggie Brown. Sebagai anak muda yang gaul, mereka bertiga adalah pengguna Facebook. Salah satu ‘kelemahan’ Facebook bagi remaja adalah, foto yang diposting akan tetap berada di sana selamanya, kecuali jika pengguna menghapusnya. Padahal sebagai anak muda, mereka menikmati aktivitas mengirimkan foto-foto konyol untuk saling bully dengan teman-teman lain. Kalaupun foto itu dihapus, maka di tempat lain sudah ada teman yang men-download foto memalukan tadi dan akan digunakan sebagai ‘senjata’ ke depannya. Reggie mengeluhkan bahwa masalah ini bisa teratasi jika ada medsos yang bisa menjadikan foto terhapus sendiri setelah beberapa saat, serta tidak memungkinkan untuk download atau melakukan screenshot pada postingan atau foto. Evan Spiegel menyukai ide tersebut, dan mulai memikirkan untuk membuat aplikasi sosmed semacam itu.
Evan Spiegel, Reggie Brown, dan Bobby Murphy kemudian membuat aplikasi yang memiliki skema berkirim pesan dan foto seperti yang diinginkan Brown. Mereka memberi nama aplikasi tersebut Pictaboo. Pemosisian aplikasi ini sebagai sarana sexting (berkirim pesan seksual) juga sangat jelas. Dalam deskripsi aplikasi, dijelaskan bahwa: “Pictaboo, memungkinkan kamu dan pacar mengirim foto untuk mengintip, tapi bukan untuk disimpan”. Sayangnya, aplikasi ini belum menjadi ‘hit’.
Meskipun demikian, ketika Spiegel ingin membawa aplikasi tersebut ke tahap selanjutnya, Brown tidak setuju. Dia ingin memiliki saham yang lebih besar untuk Pictaboo, mengingat dia adalah orang yang ‘menemukan ide’ dan ‘mengarahkan’ Spiegel dan Murphy untuk membuat aplikasi sesuai kehendaknya. Spiegel naik darah dan memutuskan tidak akan menggunakan nama Pictaboo lagi. Setelah menyelesaikan masalah hukum terkait hak cipta dan semacamnya (tentu saja keluarga Spiegel dapat diandalkan untuk masalah ini), Spiegel dan Murphy menggunakan nama Snapchat!
Karena baru, Snapchat dapat ‘menyelinap di bawah radar’ dan populer di kalangan pelajar. Pada tahun 2012, sebagian besar sekolah mengizinkan pelajar untuk menenteng ponsel atau tablet, akan tetapi memblokir penginstalan media sosial (terutama Facebook) dan aplikasi berkirim pesan lainnya. Saat itu Snapchat masih bisa diinstal dan sangat praktis untuk pelajar karena mereka juga bisa berkirim contekan lewat aplikasi ini. Pada April 2012, Snapchat sudah mencapai 100.000 pengguna, sebuah jumlah yang cukup besar untuk aplikasi baru.
Spiegel dan Murphy mulai kesulitan membayar server karena tingginya traffic Snapchat. Mereka berkomitmen untuk membagi biaya server separuh-separuh. Untuk Spiegel yang kaya, jumlah tersebut tidak masalah. Akan tetapi Murphy harus bekerja keras untuk dapat membayar bagiannya. Ketika biaya mencapai USD 5000, kedua sahabat ini merasa bahwa mereka perlu campur tangan pihak luar.
Lightspeed Venture adalah angel investor yang kemudian menyelamatkan Snapchat. Perusahaan ini sebenarnya sudah lama berupaya menemui para pendiri Snapchat, akan tetapi itu terhalang karena Spiegel dan Murphy sendiri menyembunyikan data mereka dengan sangat luar biasa. Website mereka tidak memiliki informasi kontak, dan bahkan tidak dapat dilacak menggunakan ‘Whois’. Padahal saat itu Snapchat sudah nyaris sama populer seperti Instagram dan Angry Birds! Dengan susah payah melakukan penyelidikan, Lightspeed akhirnya menemukan dua orang pendiri Snapchat ini. Mereka pun mengikat kesepakatan senilai USD 4,25 juta.
Setelah modal digelontorkan, Spiegel dan Murphy bekerja dengan sangat serius. Mereka menyewa karyawan untuk melakukan pengembangan aplikasi. Kantor mereka dekat dengan rumah ayah Spiegel, sehingga memudahkannya untuk mencari makanan atau tambahan uang. Untuk mendapatkan karyawan dengan gaji agak miring, Spiegel rajin merayu mahasiswa Stanford yang brilian, bahkan langsung meminta mereka agar putus kuliah dan bekerja dengannya saja. “Dia meyakinkan kami untuk drop out dari Stanford dan pindah ke Los Angeles hanya dalam satu percakapan,” ungkap Daniel Smith, salah satu karyawan awal Snapchat.
Tim awal yang dibentuk Spiegel dan Murphy ini bekerja keras seharian untuk memenuhi deadline pengembangan fitur Snapchat. Seringnya bahkan mereka berhenti bekerja hanya jika sudah mendekati (atau kadang melewati) jam tidur. Kebanyakan karyawan ini menginap di rumah Spiegel, dan co-founder Snapchat ini dengan iseng seringkali mengganggu istirahat mereka dengan membuat suara-suara keras di rumah atau bahkan mengganti kode yang sudah ditulis karyawannya. Murphy menceritakan, “Saya bahkan hingga sekarang sering bermimpi buruk mendengar Evan melompat-lompat di tangga”
Meskipun terlihat kacau balau, tim ini bekerja sangat efektif, setidaknya demikian di mata investor. Perwakilan Lightspeed menceritakan bahwa “Mereka biasanya bertengkar karena sama-sama ingin diakui sebagai ‘penemu’ fitur tertentu. Namun hasilnya brilian. Bukan hanya fitur yang ‘mirip Facebook’, tapi mereka bahkan membuat fitur yang dapat menantang Facebook”. Perlu diketahui memang bahwa pada saat Snapchat dikembangkan, Facebook sudah menjelma sebagai media sosial paling populer di dunia. Oleh karena itu semua orang selalu membandingkan Snapchat dengan Facebook. Namun keberadaan Snapchat terbukti kemudian menjadi antitesis Facebook. Saat itu Facebook dicap tua dan kolot. Banyak orang dewasa yang menggunakan Facebook dan terlalu banyak batasan dan aturan, sehingga remaja mencari media sosial alternatif. Snapchat dengan segala keberaniannya mendobrak norma (termasuk dengan terang-terangan mengakui diri sebagai aplikasi untuk sexting) menarik perhatian para remaja. Aplikasi ini dianggap muda dan keren! Apalagi Snapchat merupakan aplikasi mobile first – aplikasi ini lebih mudah (bahkan saat itu hanya ada versi mobile) digunakan untuk smartphone dan tablet. Cocok dengan anak muda yang sedang demam smartphone.
Edward Snowden yang hobi mengawasi dan memperingatkan permasalahan privasi bagi pengguna internet juga memuji Snapchat. Snowden mengakui bahwa aplikasi ini memang sangat menjaga kerahasiaan dan privasi penggunanya. Jika kamu mengirim pesan atau foto di Snapchat, postingan tersebut tidak bisa disimpan. Bahkan jika di-screenshot sekalipun akan langsung mengirimkan pemberitahuan kepada orang yang memiliki postingan. Di saat yang sama, Facebook mulai terkena masalah karena skema media sosialnya (yang dimaksud di sini adalah sistem Facebook yang mana orang bisa memposting foto, dan foto itu akan tetap ada hingga dihapus, sementara orang lain juga bebas untuk men-download foto). Revenge Porn (memposting foto telanjang atau hubungan intim untuk membalas dendam pada mantan atau orang yang menyakiti hatinya) menjadi populer di Facebook. Ini menimbulkan masalah baru bagi remaja secara umum di seluruh dunia. Banyak yang nama baiknya rusak akibat orang memposting sesuatu yang jahat tentangnya di Facebook, dengan korban sebagian besar adalah perempuan. Ini menjadikan remaja semakin menjauhi Facebook dan makin akrab dengan Snapchat.
Meskipun berusia hampir sama dengan Mark Zuckerberg, posisi Spiegel dan Zuck bagaikan bumi dan langit. Zuck saat itu sudah menjadi miliuner termuda di dunia dan menancapkan kukunya makin dalam di media sosial. Baca Kisah Silicon Valley #101 – Baku Hantam dengan Facebook minggu depan!.
Referensi
Colao, (2014). The Inside Story Of Snapchat: The World’s Hottest App Or A $3 Billion Disappearing Act? Forbes
Hartmans, Avery & Stone, Madeline. (2018). The life and career rise of Snap CEO Evan Spiegel, one of the youngest billionaires in the world. Business Insider
Kosoff, Maya. (2018). Does Evan Spiegel Know Where Snapchat is Going. Vanity Vair.
Moskvitch, Katia. (2018). Insiders say working at Snapchat is ‘like swimming in a shark tank’. Wired.
Sumber https://indoint.com/
0 comments:
Post a Comment