Home » » Mengenal Skizofrenia, Penyakit yang Diidap Ibu Pembawa Anjing ke Masjid

Mengenal Skizofrenia, Penyakit yang Diidap Ibu Pembawa Anjing ke Masjid

Posted by Droid Tech Media on Thursday, July 4, 2019

ibu-anjing-masjid-doktersehat
Photo Source: headtopics.com

DokterSehat.Com– Kasus anjing yang dibawa seorang ibu hingga masuk ke dalam masjid masih menjadi bahasan hangat warganet. Banyak warganet yang mengaku tidak terima dengan perilaku sang ibu, namun belakangan ini diketahui bahwa tindakannya yang tidak wajar ini ternyata terkait dengan kondisi kejiwaan yang diidapnya, yakni skizofrenia paranoid.

Skizofrenia diidap ibu yang membawa anjing ke masjid

Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat bahwa sang ibu masih memakai sandalnya saat memasuki masjid sambil marah-marah. Terlihat jelas pula bahwa ada anjing berukuran kecil di belakangnya saat sang ibu sedang berbicara dengan beberapa orang yang ada di dalam masjid.

Beberapa saat lalu, beredar kabar yang menyebut ibu dengan inisial SM ini marah-marah karena di dalam masjid ini terdapat acara pernikahan antara suaminya dengan wanita lain. Hanya saja, Pembina Masjid Al-Munawaroh, tempat kejadian ini, Raudl Bahar menyebut tidak ada pernikahan yang melibatkan suami SM di dalam masjid tersebut. Hal ini berarti, kondisi kejiwaan SM memang tidak stabil sehingga membuatnya sampai berpikir jika suaminya menikah lagi.

Kapolres Bogor AKBP AM Dicky menyebut wanita berusia 52 tahun ini memang cenderung memiliki emosi yang tidak stabil. Selain sering marah, keterangan yang diungkapkannya di hadapan polisi juga terus berubah.

Suami SM sampai memberikan dua surat keterangan medis dari dua rumah sakit yang menunjukkan kondisi kejiwaan SM. Hal ini lah yang kemudian menunjukkan bahwa sang wanita memang menderita skizofrenia.

Mengenal skizofrenia

Pakar kesehatan menyebut skizofrenia menyerang 1,1 persen dari total seluruh penduduk di Indonesia. Sebagian besar dari kasus ini adalah sikzofrenia paranoid. Penderita penyakit ini seringkali adalah yang masih berusia muda, yakni 18 hingga 30 tahun. Hanya saja, cukup banyak kasus skizofrenia yang berawal di usia 45 tahun.

Skizofrenia bisa mempengaruhi cara berpikir dan perilaku penderitanya. Bahkan, mereka seperti bisa hidup di dunia sendiri dan terputus dari realita. Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk membedakan antara mana yang nyata dan mana yang sebenarnya dari pikirannya sendiri.

Hanya saja, perkembangan penyakit ini cenderung sangat lambat sehingga pengidapnya tidak menyadari ada yang salah dengan kejiwaannya selama bertahun-tahun. Sayangnya, hal ini pulalah yang membuat mereka sulit untuk disembuhkan.

Cukup banyak penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi, mendengarkan suara yang sebenarnya tidak ada, hingga menganggap orang lain melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dilakukan. Hal ini bisa menyebabkan ketakutan berlebih atau hal-hal lainnya.

Berbagai penyebab skizofrenia

Sebenarnya, hingga saat ini belum jelas apa penyebab pasti dari masalah skizofrenia. Hanya saja, hal ini diduga terkait dengan berbagai faktor.

Berikut adalah berbagai faktor yang bisa menyebabkan datangnya skizofrenia.

  1. Faktor genetik

Pakar kesehatan menyebut faktor keturunan bisa meningkatkan risiko terkena skizofrenia. Hal ini berarti, jika ada riwayat keluarga mengalami skizofrenia, kita memiliki risiko terkena masalah kesehatan yang sama hingga 10-50 persen. Hanya saja, terkadang seseorang mengalami mutasi gen yang akhirnya memicu datangnya masalah ini meski tidak memiliki faktor keturunan.

  1. Akibat pengaruh lingkungan

Pakar kesehatan menyebut gangguan mental ini juga bisa disebabkan oleh faktor lingkungan seperti stres berat, paparan bahan kimia saat masih berada dalam rahim atau kehamiln ibu, penggunaan narkoba, dan lain-lain.

  1. Terjadinya perubahan pada struktur kimia di dalam otak

Mereka yang mengalami skizofrenia cenderung memiliki ruang ventrikel otak yang lebih besar memiliki bagian lobus temporal yang terkait memori yang cenderung lebih kecil, memiliki perubahan pada zat kimia otak dan neurotransmitter, serta memiliki jumlah konektor antar sel-sel otak yang lebih sedikit.


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blog Archive

.comment-content a {display: none;}