Home » » Kisah Silicon Valley #110 – Shinji Mikami, Tantangan untuk Terus Kreatif

Kisah Silicon Valley #110 – Shinji Mikami, Tantangan untuk Terus Kreatif

Posted by Droid Tech Media on Friday, June 14, 2019






Hal yang paling disesalkan oleh Shinji Mikami adalah budaya Jepang yang dirasanya kurang bersahabat untuk menuangkan kreativitas. Dia mencontohkan bahwa perusahaan developer game seringkali ‘menyediakan’ jabatan sutradara game untuk veteran yang berusia 40 tahun ke atas. Ini sebuah sikap yang menghormati senioritas dalam budaya Jepang, tapi Mikami merasa ini sesuatu yang menghambat. “Kalau Anda berusia 40 tahun ke atas, maka seringkali Anda tidak paham alasan orang-orang membeli game Anda,” jelasnya. “Tapi ketika Anda terlalu muda, maka Anda tidak cukup mengenal industri ini. Saat Anda berusia 30-an, Anda punya keseimbangan yang tepat – Anda energik, punya ego, dan dapat berfokus tanpa gangguan, sekaligus juga Anda punya cukup pengalaman untuk mengelola orang-orang dan memahami bisnis.”





Pemikiran ini nampaknya mendasari sikap Mikami yang seringkali memberikan peluang kepada sutradara-sutradara muda untuk menuangkan kreativitasnya, sementara dia melakukan pengawasan dan menikmati buah kepercayaannya. Dia tidak setuju jika kesempatan memimpin diserahkan hanya karena senioritas. Mungkin ini yang menjadikannya sukses dan kemudian mendapatkan julukan sebagai ‘Bapak game survival horror’.









Meninggalkan Capcom di puncak kesuksesan





Hal yang paling disesalkan oleh Shinji Mikami adalah budaya Jepang yang dirasanya kurang b Kisah Silicon Valley #110 – Shinji Mikami, Tantangan untuk Terus Kreatif




Pemikirannya untuk memberi kesempatan tenaga muda ini nampaknya adalah buah pengalaman Mikami saat bekerja di Capcom – Perusahaan game yang memberikannya nama besar. Saat Mikami mulai bekerja di Capcom pada tahun 1989, dia bekerja di bawah arahan Tokuro Fujiwara – Kepala Divisi Pengembangan Konsumen Capcom, yang merupakan kreator game Ghost ‘n Goblin, salah satu game paling brutal milik Capcom. Karena saat itu Capcom belum lama berdiri, Fujiwara memberikan kesempatan kepada Mikami yang masih muda untuk memimpin proyek. Mikami sangat menghargai peluang yang diberikan meskipun Fujiwara di dunia industri game saat itu dikenal bertangan besi.





“Saat saya bekerja untuknya (Fujiwara), saya pulang hanya dua kali seminggu,” ujar Mikami. “Dan gaji saya dari proyek Resident Evil mungkin jauh lebih sedikit dari rata-rata karyawan tahun pertama umumnya. Bahkan saya waktu itu gagal menikah karena situasi finansial saya tidak mendukung.” Mikami tertawa. “Kalau misalnya saya melakukan hal seperti itu saat sekarang, mungkin saya sudah kena tuntut,” ujarnya sambil bercanda.











Ketika Capcom menerbitkan Resident Evil 2, barulah kondisi keuangan Mikami membaik. Dia dapat melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya (yang dengan setia menunggu), dan meskipun mengalami ‘penderitaan’ semacam itu di Capcom, dia menghormati pendekatan Fujiwara. Bahkan menurutnya jika ingin menjadikan seseorang sukses di usia muda, maka metode Fujiwara ini akan sangat efektif. “Saya sendiri tidak bisa bersikap sekeras Fujiwara, waktu saya memiliki tim sendiri, terus terang saya terlalu lunak dan akhirnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal.”





Resident Evil memang kemudian menjadi produk legendaris di Capcom, sampai-sampai Mikami mendapatkan hadiah saham dari perusahaan yang menjadikannya kaya raya. Dengan posisi yang semakin mantap di Capcom, Mikami kemudian juga mengelola timnya sendiri dan dia memberikan banyak kesempatan kepada sutradara-sutradara game yang masih muda dan beberapa di antaranya juga meraih sukses besar. Misalnya Hideki Kamiya, kreator Devil May Cry, Okami, dan Viewtiful Joe dan Shu Takumi yang tenar lewat Ace Attorney dan Ghost Trick.





Namun setelah lama menghabiskan waktu di Capcom, Mikami merasa bahwa perusahaan ini mulai berubah. Capcom mulai berfokus pada bisnis, sehingga menyulitkan dirinya untuk memaparkan ide-ide kreatif yang lebih radikal. “Capcom menjadi sedikit terlalu besar, dan mereka mulai membentuk model struktur bisnisnya seperti Electronic Arts – dalam hal manajemen, biaya, SDM, dan anggaran,” kenangnya. “Di Capcom sebelumnya, jika seorang produser hadir di rapat manajemen senior dengan ide bagus, maka ini akan langsung diterima. Namun semakin lama ini semakin sulit terjadi karena perusahaan terlebih dahulu melakukan survei untuk memastikan mereka tidak akan merugi jika mengguyurkan dana pada proyek tertentu. Memang seharusnya perusahaan publik melakukan hal seperti ini, tapi saya lebih suka Capcom waktu masih kecil.”





Mikami kesulitan mengembangkan ide-ide barunya, terutama saat dia ingin mengembangkan game action. Karena sudah punya nama dalam game horror, Capcom ingin dia terus mengembangkan game horror. Mikami kemudian mengajukan pengunduran diri dari Capcom dan bekerja sebagai freelancer.









Tango, perusahaan baru Mikami









Pada 1 Maret 2010, Mikami dan timnya yang terdiri atas 12 orang mendirikan Tango Gameworks. Mikami mengumumkan secara publik bahwa meskipun dia memulai perusahaan baru, dia belum memiliki proyek. Dia ingin ‘menyemai’ sutradara-sutradara baru untuk menuangkan kreativitasnya. Saat itu memang belum ada satu perusahaan pun yang menghubungi studio milik Mikami ini untuk menawarkan kontrak.





Sementara itu, tim mulai mengerjakan beberapa proyek dari nol. Landasannya hanyalah ide dan kreativitas masing-masing sutradara game yang ikut dengannya. Salah satu ide yang ‘diseriusi’ oleh Mikami adalah sebuah game yang bernama Noah, sebuah petualangan survival yang diinspirasi oleh film Dune. Ceritanya adalah bumi yang mengalami kehancuran sehingga orang-orang mulai pindah ke berbagai planet. Karena saling terpisah, maka misi game ini adalah mengumpulkan teman dan keluarga dengan petualangan luar angkasa.





Noah tidak pernah sampai rilis karena Tango mengalami krisis keuangan yang serius. Mikami tidak pernah menceritakan secara spesifik apa hal yang menyebabkan krisis finansial ini, namun pada saat itulah Bethesda, sebuah perusahaan game asal Amerika, datang untuk menyelamatkan.





Pada tanggal 28 Oktober 2010, Bethesda Softworks mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Tango. Perusahaan ini dikenal karena game franchise-nya yang populer: Elder Scroll. Saat itu Bethesda memang sedang sangat agresif mengakuisisi beberapa studio developer yang memiliki kredibilitas tinggi. Di antaranya: ID Software, Arkane Studios, dan Machine Games.





“Bethesda menurut saya merupakan perusahaan yang unik. Mereka tidak seperti perusahaan game ala barat, bahkan mungkin ‘lebih Jepang’ dari beberapa perusahaan game Jepang.” cerita Mikami. “Mereka tidak memaksakan orang-orang kreatif untuk melakukan sesuatu. Mereka memberikan kebebasan kreatif untuk developer.”





Cara kerja Bethesda saat itu adalah meminta laporan pada studio game setiap dua bulan. Tapi setelah ada proyek spesifik, maka mereka akan lebih sering mengontak developer untuk menanyakan perkembangan. Meskipun demikian, Bethesda bersedia bereksperimen. Jika ada ide baru dari developer game yang mereka anggap masuk akal, maka hal itu akan langsung diterimanya. Salah satu hal gila yang dilakukan Bethesda adalah, mereka menerima usulan developer untuk mengerjakan game single player dengan biaya besar – padahal pada saat itu game multiplayer adalah yang tengah tren di pasaran. Tentu saja ini menjadikan Bethesda kehilangan potensi pendapatan yang lebih besar. Namun Pete Hines, Vice President Bethesda tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Kami sangat bangga menjadi perusahaan yang membuat game single player ketika perusahaan lainnya tidak mau melakukannya,” ujar Pete Hines dalam salah satu wawancaranya dengan blog teknologi Polygon.













Kelahiran kedua bersama Bethesda





Pada saat diakuisisi oleh Bethesda, Mikami menyatakan bahwa dia tetap ingin agar Tango mengembangkan beberapa game dalam satu waktu. Ini didukung oleh timnya yang ingin melakukan hal tersebut. “Tujuan perusahaan secara menyeluruh tidak berubah, tapi karena tujuan utama Bethesda adalah memproduksi game besar, maka kita akan melakukan ini terlebih dahulu,” jelas Mikami.





Menghormati tujuan Bethesda, Tango meninggalkan produksi Noah dan memulai sebuah proyek game besar yang diberi kode Zwei (bahasa Jerman untuk dua). Game ini merupakan sebuah game action tentang pemburu vampire. Uniknya, karakter game ini adalah pria dan wanita yang terikat rantai. Jika seorang pemain bermain sendirian, maka dia harus mengendalikan dua karakter ini. Jika dimainkan dua orang, maka mereka dapat bekerja sama untuk mengendalikan kedua karakter.











Pada bulan April 2013, Bethesda dan Tango mengungkap game ini dan dirilis dengan judul The Evil Within. Jika Resident Evil lebih cenderung pada survival dan dikagumi karena berhasil ‘menakut-nakuti’ gamer, maka The Evil Within lebih pada Action. Akhirnya Mikami berhasil melakukan hal yang berbeda sebagaimana yang diidamkannya saat di Capcom.









Mikami memuji tim yang telah menciptakan Evil Within tersebut. Tiga tokoh utama yang membentuk game tersebut antara lain adalah game designer Shigenori Nishikawa, Art Director Naoki Katakai, dan Lead Concept Artist Ikumi Nakamura. “Mereka masing-masing memiliki hal berbeda yang menonjol,” ungkap Mikami. “Nishikawa sangat baik dalam mengelola orang-orang dan mengatur anggota tim. Katakai hebat dalam memvisualisasikan dunia yang dibayangkannya. Dan Nakamura… Saya bahkan tidak dapat memprediksikan apa yang dia pikirkan. Dia benar-benar unik!”





Kesuksesan tim ini tampaknya akan terulang kembali dalam game berikutnya: Ghost Wire: Tokyo – yang mana baru saja diumumkan di acara E3 2019 minggu ini. Mikami dan timnya sukses menghadirkan nuansa ngeri yang unik dan aneh, serta misteri yang menyelimuti dunia game buatannya.























Referensi:





Leone, Matt. (2014). Shinji Mikami and The Fountain of youth. Polygon.





Schilling, Chris. (2014). The Career of Shinji Mikami in 7 Games. IGN.





Stuart, Keith. (2014). Shinji Mikami: the godfather of horror game. The Guardian.



Sumber https://indoint.com/


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blog Archive

.comment-content a {display: none;}